scritp Unik menyambut pengunjung Blog
Powered by Blogger.
RSS
Post Icon

Tugas survei dan pemetaan

Survei dan Pemetaan Pertambangan

A.Batubara
Batubara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Batubara adalah bahan bakar fosil. Batu bara dapat terbakar, terbentuk dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batubara.

B.Jenis-jenis Batu Bara
Tingkat perubahan yang dialami batubara, dari gambut sampai menjadi antrasit disebut sebagai pengarangan memiliki hubungan yang penting dan hubungan tersebut disebut sebagai ‘tingkat mutu’ batubara. Batubara dengan mutu yang rendah, seperti batubara muda dan subbitumen biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Batubara muda memilih tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah, dan dengan demikian kandungan energinya rendah.
Batubara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat dan seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak. Antrasit adalah batubara dengan mutu yang paling baik dan dengan demikian memiliki kandungan karbon dan energi yang lebih tinggi serta tingkat kelembaban yang lebih rendah.
Secara umum, tahapan penambangan batubara meliputi :
(1) pembersihan lahan/pembebasan vegetasi (land clearing)
(2) pengupasan dan penimbunan tanah penutup
(3) penggalian batubara
(4) penirisan tambang
(5) pengangkutan dan
(6) reklamasi lahan bekas penambangan.
Tahapan operasional penambangan tersebut dapat berlangsung pada suatu unit lokasi penambangan dan dimungkinkan pula dapat terjadi secara simultan di beberapa lokasi penambangan, (Stefanko, R, 1983).
Pada umumnya, rehabilitasi lahan tempat penimbunan batuan penutup penggalian batubara meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut:
(1) perencanaan rehabilitasi lahan
(2) pemindahan tanah, (top soil dan sub soil)
(3) penempatan batuan penutup yang be ras al dari lubang tambang (pit)
(4) pembentukan timbunan batuan penutup agar lerengnya tidak terlalu curam
(5) penutupan timbunan dengan lapisan tanah lempung yang dipadatkan atau lapisan batuan yang tidak reaktif untuk mencegah terjadinya air asam tambang
(6) pembuatan sarana drainase, untuk mengendalikan aliran air permukaan
(7) penempatan tanah di atas permukaan timbunan batuan penutup
(8) penanaman vegetasi
(9) pemeliharaan tanaman dan
(10) pemantauan periodik.
Dampak negatif dari kegiatan pembersihan lahan, pengupasan dan penimbunan tanah penutup dan penggalian batubara bila tidak segera diatasi akan meninggalkan dampak negatif yang berpotensi menimbulkan permasalahan. Misalnya, keterlambatan dalam pengelolaan tanah galian dan tanah timbunan dapat mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi yang cukup parah, terlebih-lebih bila lokasi tersebut berdekatan dengan lokasi pemukiman penduduk.
Disamping itu, Kalimantan adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan karakteristik tanah tipikal yang umumnya dalam proses eksplorasi lahannya memerlukan penanganan khusus secara geoteknik. Hal ini dikarenakan kondisi tanah yang relatif sensitif terhadap perubahan di sekelilingnya seperti akibat galian dan perubahan cuaca.

C.Pembahasan
Memperhatikan perkembangan vegetasi dan kondisi pada lahan bekas galian tambang batubara yang telah diuraikan dimuka, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas secara terpadu. Hasil analisis vegetasi pada lahan bekas tambang batubara sistem terbuka yang telah berumur 1 tahun, 3 tahun dan 5 tahun setelah kegiatan penambangan, menunjukkan bahwa sampai dengan 1 tahun, belum ada satu jenis vegetasi yang dapat tumbuh, sedangkan pada umur 3 tahun setelah penambangan hanya ada satu jenis tumbuhan yaitu Muntingia calabura yang baru menginvasi lahan tersebut. Kemudian, pada lahan yang berumur 5 tahun setelah penambangan, baru ada 7 jenis tumbuhan yang bisa tumbuh di lokasi tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sangat sukar untuk mengandalkan suksesi alami yang hanya tergantung pada kondisi alam, diperlukan adanya sejumlah perlakuan-perlakuan yang dapat menstimulasi atau mempercepat proses revegetasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan kesukaran hidupnya tumbuhan di lokasi tersebut, antara lain adalah :
(1) masih kuatnya agregat tanah/batuan timbunan yang diangkut dari tempat-tempat galian tambang (pit), sehingga aerasi tanah sangat buruk
(2) pH tanah terlalu tinggi, kondisi tanah yang alkalis ini kurang mendukung pertumbuhan vegetasi
(3) kesuburan tanah secara fisik, kimia dan biologis dinilai sangat rendah. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa penimbunan batuan penutup yang kemudian diratakan dengan agregat tanah yang masih keras, baru merupakan tahap awal reklamasi, yang seharusnya ditindaklanjuti oleh tahap berikutnya yaitu penaburan timbunan tersebut dengan sub soil dan top soil sebagai media tumbuh vegetasi. Adanya sub soil dan top soil yang mengandung bahan organik akan turut mendukung persyaratan minimal media pertumbuhan vegetasi.
Dari hasil pengamatan perkembangan vegetasi di lokasi pasca penambangan batubara terdapat kecenderungan bahwa semakin lama areal bekas penambangan batubara ditinggalkan, sifat-sifat morfologi dan fisik tanahnya secara berangsur mendekati keadaan alami. Sifat morfologi dan fisik tanah tersebut meliputi antara lain : pembentukan batas horison, warna horison, pembentukan struktur, distribusi liat (tekstur), konsistensi dan bulk density tanah. Pada umumnya, tanah-tanah di areal bekas penambangan batubara, mempunyai konsentrasi hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) yang rendah.
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan tanaman perlu adanya pemupukan, secara teknis pupuk lambat urai dapat diunggulkan, atas dasar berbagai pertimbangan, antara lain :
(1) menghemat tenaga kerja, karena frekuensi pemupukan yang biasanya diberikan beberapa kali, dapat dilakukan dengan hanya satu kali saja
(2) aman, walaupun diberikan dalam dosis yang tinggi
(3) pupuk terurai secara perlahan-lahan, sehingga mengurangi resiko pencucian unsur hara pupuk
(4) ketersediaan unsur hara dalam pupuk relatif cukup lama, sehingga tanaman relatif lebih terjamin dari defisiensi unsur hara.

D.Kesimpulan
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta upaya konservasi dan pelestarian sumber daya alam, kegiatan rehabilitasi lahan pasca penambangan batu bara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak yang terkait. Untuk mendukung hal tersebut, perlu memanfaatkan pengalaman lapangan dan hasil studi ilmiah. Disamping itu, dituntut kesungguhan sejak proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan oleh pihak-pihak yang berwenang. Sehingga tujuan rehabilitasi lahan untuk menciptakan ekosistem sesuai dengan peruntukan kawasan seperti semula atau mendekati kondisi ekosistem hutan sebelum dilakukan penambangan batubara tersebut dapat tercapai sesuai dengan hasil yang di inginkan.


PUSTAKA

Kustiawan W., 1990. Some Consequences of Plantation Establishment Proceeding of Regional Seminar or Conservation for Development of Tropical Forest in Kalimantan, Indonesia-German Forestry Project in Mulawarman University, Samarinda.
Kustiawan, W. dan M. Sutisna, 1994. Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan Batubara di Kalimantan Timur : Evaluasi Pertumbuhan Tanaman di Lahan Bekas Galian Batubara, Laporan Penelitian PSL. Puslit Unmul, Samarinda
Nuripto, 1995. Analisis Vegetasi Pada Lahan Bekas Tambang Batubara Sistem Terbuka di PT. Kitadin, Embalut, Kabupaten Kutai. Skripsi Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda
Padlie, 1997. Pengkajian Sifat-sifat Tanah pada Areal Bekas Penambangan Batubara Terbuka 1, 4 dan 6 Tahun, di PT. Multi Harapan Utama, Bukit Harapan, Kabupaten Kutai. Skripsi Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda
R. U. Cooke and J. C. Doornkamp, 1990. Geomorphology in Environmental Management, Clarendon Press, Oxford
Sarwono Hardjowigeno, 1985. Kalsifikasi Tanah, Survei Tanah, dan Evaluasi Kemampuan Lahan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Stefanko, R, 1983. Coal Mining Technology Theory & Practice. Published by Society of Mining Engineers of The American Institute of Mining, Metallurgical, and Petroleum Engineers Inc New York, New York
Soerianegara, I. dan Indrawan, 1976. Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
http://erfan1977.wordpress.com/tag/pertambangan/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment